Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Diskusi Unpaders, Ini Beda Industri Film Indonesia Dan Korea

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Minggu, 14 Juni 2020, 20:54 WIB
Diskusi Unpaders, Ini Beda Industri Film Indonesia Dan Korea
Dubes Indonesia untuk Korea Selatan, Umar Hadi/RMOL
rmol news logo Pemerintah Korea Selatan sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan industri film Korea Selatan. Dukungan penuh yang diberikan itu melalui berbagai kebijakan yang memudahkan insan seni untuk berkreasi.

Pemerintah Korea Selatan juga memandang industri film sebagai bagian penting dari soft diplomasi dalam rangka membangun image positif Korea Selatan di dunia internasional yang dipercaya akan berdampak pada kerjasama ekonomi dengan berbagai negara.

Pemerintah Korea Selatan secara sengaja dan berkesinambungan sejak era 1990an mengembangkan Hallyu atau Korean Wave ke segala arah dan melibatkan berbagai sektor, termasuk industri film nasional.

Demikian disampaikan Dutabesar Indonesia untuk Korea Selatan, Umar Hadi, ketika berbicara dalam diskusi virtual bertema “Memajukan Perfilman Indonesia, Mendengar Pengalaman Korea” yang diselenggarakan komunitas alumni Unpad, Unpaders, Minggu siang (14/6).

Diskusi yang dipandu Founder Unpaders Irawati Hermawan ini juga menghadirkan sineas senior Dedy Mizwar dan sineas-sineas muda alumni Universitas Padjadjaran (Unpad) seperti penulis skenario “The Tarix Jabrix” Hilman Mutasi , sutradara “Love for Sale” Andi Bachtiar Yusuf, penulis skenario “Para Pencari Tuhan” Wiraputra Basri, dan produser serta penulis skenario “Garuda di Dadaku” Salman Aristo.

Diskusi juga menghadirkan bintang film nasional Raline Shah dan bintang drama Korea asal Indonesia, Yannie Kim.

Dengan dukungan yang maksimal, dapat dipahami apabila film “Parasite” yang baru dirilis Mei 2019 membuat kejutan pada ajang Academy Awards ke-92 yang diselenggarakan bulan Februari 2020 lalu.

Film yang disutradarai Bong Joon-ho dan dibintangi antara lain oleh Song Kang-ho, Kee Sun-kyun, Cho Yeo-jeong, dan Choi Woo-shik itu meraih predikat Best Picture, Best Director, Best Original Screeplay, dan Best International Feature Film.

Tidak saja di ajang Academy Awards, film garapan Barunson E&A yang didistribusikan CJ ENM itu pun memenangkan Golden Globe Award untuk kategori Best Foreign Language Film, juga BAFTA Awards untuk kategori Best Film Not in the English Language.

Masih menurut Dubes Umar Hadi, pemerintah Korea Selatan juga memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk ikut membangun dan membesarkan industri film nasional.

Ia mencontohkan CJ Group yang awalnya bergeral di sektor makanan, pada 1980an mulai mengembangkan anak perusahaan CJ ENM (Entertainment and Retail) yang bergerak di bidang produksi film dan CG CGV yang bergerak di jaringan bioskop.

“Pihak swasta besar sangat mendukung, sehingga rumah-rumah produksi kecil pun bisa hidup terus,” ujarnya seperti dikutip dari Unpaders.id.

Dukungan pemerintah Korea Selatan terhadap industri film nasional juga diperlihatkan di era pandemi Covid-19 sekarang ini. Di saat indutri film seakan mati suri, pemerintah Korea Selatan memberikan insentif sebesar 14 juta dolar AS, baik melalui kupon yang dapat digunaan di bioskop, maupun dalam bentuk pelatihan dan produksi film.

Sementara sineas senior Dedy Mizwar menyampaikan situasi di Indonesia yang berbeda dengan di Korea Selatan.

Menurut sutradara “Naga Bonar” tidak ada lembaga yang bekerja untuk melindungi industri film mansional.

Di era 1990an ada Dewan Film Nasional yang dipimpin Menteri Penerangan dan dibantu ketua harian yang berasal dari insan perfilman yang sangat mapan seperti Asrul Sani dan Rosihan Anwar.

Keberadaan Dewan ini diganti oleh
Badan Pertimbangan Perfilman Nasional yang hanya menampung pertimbangan dan pemikiran untuk disampaikan kepada menteri, tanpa kewenangan menyalurkan insentif seperti yang dimiliki Dewan Film Nasional.

Kelahiran UU 33/209 tentang Perfilman, masih menurut Dedy Mizwar, semakin mengecilkan peran lembaga perfilman. Badan Perfilman Indonesia yang dibentuk melalui UU itu tidak memiliki peran dan kewenangan apa pun, dan hanya menjadi semacam paguyuban.

“Gagasan lama kita tentang film Indonesia hilang semua. Mati atau hidup terserah kemampuan masing-masing produser, dan lain sebagainya,” ujar Dedy Mizwar.

Persoalan juga terjadi dalam hal distribusi film. Misalnya, tidak ada lagi aturan tentang distribusi dan pemutaran film di bioskop.

“Sekarang lebih didasarkan pada kedekatan pada pemilik bioskop,” ujarnya.

Dedy Mizwar mengatakan dirinya setuju dengan apa yang disampaikan Dubes Umar Hadi, bahwa film adalah ujung tombak untuk mengenalkan Indonesia dan produk-produk lain yang dimiliki Indonesia ke dunia.

“Ini yang dapat mengenalkan Indonesia sebagai diplomasi kebudayaan ke dunia,” ujarnya lagi.

Mengenai peningkatan mutu insan film, Dedy Mizwar menambahkan, ketika Umar Kayam menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film, pemerintah memberikan banyak beasiswa untuk insan film. Namun kini hal itu sudah tidak ada lagi. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA