Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

'The Social Dilemma', Sudut Pandang Lain Mengenai Kapitalisme Dan Media Sosial

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Minggu, 20 September 2020, 14:39 WIB
<i>'The Social Dilemma'</i>, Sudut Pandang Lain Mengenai Kapitalisme Dan Media Sosial
The Social Media menjadi pembahasan hangat di media sosial beberapa waktu belakangan sejak dirilis di Netflix/Net
rmol news logo Jagat sosial media Twitter beberapa waktu lalu ramai memperbincangkan tayangan baru di salah satu layanan media streaming Netflix berjudul "The Social Media".

Ini adalah "dokudrama" atau film dokumentasi diwarnai drama yang menyuguhkan sudut pandang lain mengenai media sosial yang biasa digunakan sehari-hari.

Disebut dokudrama karena film ini mengangkat wawancara dengan sejumlah insinyur dan pakar yang pernah bekerja di Silicon Valley serta menyisipkan kisah fiksi dari keluarga Amerika Serikat yang diceritakan terpengaruh oleh media sosial dalam kehidupan sehari-hari mereka.

"Perpaduan dokumenter dan drama ini menelusuri bahaya jejaring sosial bagi manusia, dengan para ahli teknologi yang memberikan peringatan tentang ciptaan mereka sendiri," begitu sinopsis singkat mengenai film ini yang dipublikasi di Netflix.

Film tersebut menggambarkan bahaya dari "kegilaan" masyarakat saat ini dalam menggunakaan media sosial. Film tersebut juga membawa pentonton untuk melihat ulang sudut pandang mereka menganai bagaimana media sosial bekerja dan memicu "adiksi" tersendiri bagi para penggunanya.

Untuk menegaskan hal tersebut, film itu menampilkan wawancara dengan sejumlah sosok insinyur atau pakar yang pernah bekerja di Silicon Valley seperti di perusahaan ternama Google dan Facebook.

"Pada 50 tahun pertama Silicon Valley, industri ini membuat produk, perangkat keras dan perangkat lunak, lalu dijual ke pelanggan. Itu bisnis yang sederhana," kata Facebook Early Investor Venture Capitalist yang juga sudah menjadi investor teknologi selama 35 tahun, Roger McNamee dalam film tersebut.

"Selama 10 tahun terakhir, perusahaan terbesar di Silicon Valley berbisnis dengan menjual penggunanya," sambungnya.

Mantan ahli etika desain Google, Tristan Harris, dalam film yang sama juga mengungkapkan hal senada.

"Pepatah klasisk menyebutkan bahwa jika Anda tidak membayar produknya, maka andalah produknya," ujar Harris.

Sementara itu, mantan insinyur di Facebook dan Google, Justin Rosenstein, masih dalam film yang sama, menjelaskan lebih jauh soal model perusahaan media sosial tersebut.

"Banya orang berpikir bahwa Google hanyalah kotak pencarian dan Facebook hanyalah tempat untuk melihat kabar teman saya dan juga foto mereka," ujarnya.

"Namun mereka tidak sadar bahwa mereka (media sosial) bersaing untuk memikat perhatian Anda," sambungnya.

Dia menuturkan bahwa model perusahaan media sosial seperti Facebook, Snapchat, Twitter, Instagram, YouTube dan sejenisnya, adalah membuat orang terpaku di layar selama mungkin.

"Ada banyak layanan di internet yang kita anggap gratis. Namun itu tidak grats, itu semua dibayar oeh pengiklan. Kenapa pengiklan membayar perusahaan itu? Mereka membayar untuk menampilkan iklan kepada kita. Kita lah produknya," jelasnya lagi.

"Perhatian kita adalah produk yang dijual kepada pengiklan," sambungnya.

Banyak pro-kontra terutama yang membahas mengenai film tersebut.

John Naughton, seorang profesor pemahaman teknologi publik di Open University dalam sebuah opini di The Guardian berjudul "The Social Dilemma: a wake-up call for a world drunk on dopamine?" memberikan ulasan menarik mengenai film ini.

Dia menilai bahwa "The Social Dilemma" merupakan upaya gagah berani untuk mengatasi kepuasan kita tentang kapitalisme pengawasan melalui media sosial.

Menurutnya, film tersebut menunjukkan soal bagaimana model bisnis yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang membuat layanan sosial media tersebut, berkembang menjadi ancaman eksistensial bagi demokrasi yang pernah dinikmati manusia abad ke-21.

"Sasarannya (dari film The Social Dilemma) sangat ambisius, untuk memberikan gambaran grafis yang menarik tentang apa yang dilakukan model bisnis segelintir
perusahaan kepada kita dan masyarakat kita," tulisnya.

Naughton menjelaskan bahwa tujuan sang sutradara di balik film tersebut, Jeff Orlowski, sudah jelas sejak awal, yakni untuk menggunakan kembali strategi yang digunakan dalam dua dokumenter yang pernah dia buat sebelumnya (yang mengangkat soal perubahan iklim) dan kemudian meringkasnya dengan baik dan kritis serta membawa wawasan baru yang menarik ke topik yang sudah dikenal sambil juga "menakut-nakuti" dengan "omong kosong".

Menurutnya, dalam film tersebut, Orlowski mengadopsi pendekatan dua jalur.

Pendekatan pertama adalah dengan cara mengumpulkan sekelompok insinyur dan eksekutif. Mereka digambarkan sebagai orang-orang yang berperan dalam membangun "mesin-mesin" media sosial yang "adiktif", namun sekarang sudah "bertobat".

Mereka kemudian berbicara secara terbuka tentang perasaan bersalah mereka tentang kerugian yang secara tidak sengaja mereka timbulkan pada masyarakat akibat apa yang telah mereka buat seraya menjelaskan bebeapa rincian penyimpangan algoritmik mereka.

"Tetapi Orlowski menyambut para techbros ini dengan tangan terbuka karena mereka sesuai dengan tujuannya, yaitu menjelaskan kepada pemirsa hal-hal buruk yang dilakukan oleh perusahaan kapitalis pengawasan seperti Facebook dan Google kepada penggunanya," tulis Naughton.

"Dan masalah dengan itu adalah ketika dia sampai pada titik di mana kita membutuhkan ide tentang bagaimana memperbaiki kerusakan itu, tidak koheren," sambungnya.

Kemudian pendekatan kedua yang menurut Naughton diambil oleh Orlowski, adalah kisah fiksi dari keluarga Amerika Serikat yang sangat normal yang anak-anaknya dimanipulasi dan dihancurkan oleh kecanduan mereka pada media sosial.

Kisah fiksi soal keluarga Amerika Serikat itu disisipkan pada sela-sela wawancara di film dokumenter itu.

"Ini adalah cara Orlowski untuk meyakinkan pemirsa yang tidak paham teknologi bahwa film dokumenter tidak hanya nyata, tetapi juga menimbulkan bahaya yang nyata pada remaja," sambungnya.

Menurutnya, hal itu berhasil namun hanya sampai titik tertentu.

"Untaian fiksi diperlukan karena kesulitan terbesar yang dihadapi para kritikus industri yang memperlakukan pengguna sebagai tikus lab adalah menjelaskan kepada tikus apa yang terjadi pada mereka sementara mereka terus dialihkan oleh suguhan (dalam hal ini dopamin tertinggi) yang disampaikan oleh ponsel cerdas yang dikontrol peneliti," tulis Naughton.

Meski begitu, dia menilai bahwa film itu gagal untuk secara akurat menjelaskan mesin penggerak industri ini yang memanfaatkan psikologi terapan untuk mengeksploitasi kelemahan dan kerentanan manusia.

"Yang disayangkan karena model bisnis media sosial sebenarnya bukanlah versi mutan dari kapitalisme, itu hanya kapitalisme yang melakukan tugasnya, menemukan dan mengeksploitasi sumber daya yang darinya keuntungan dapat diambil," tulis Naughton.

"Setelah menjarah, menjarah, dan menggunduli alam, kini beralih ke penggalian dan eksploitasi apa yang ada di dalam kepala kita. Dan misteri besarnya adalah mengapa kita terus mengizinkannya," tutupnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA